Skip to main content

LRT Jakarta, Budaya Baru Bermobilitas untuk Kaum Difabel

LRT Jakarta © PT LRT Jakarta

Abad ke-21 adalah momentumnya pemanfaatan dan penyediaan transportasi massal baru. Menurut Black dan Nijkamp (2012), penyebabnya beragam, dari peningkatan pendapatan masyarakat, bertambahnya waktu luang, sampai ketersediaan teknologi komunikasi termutakhir. Menariknya, mobilitas menggunakan transportasi massal juga mendapat pengaruh dari kerisauan terhadap kendaraan bermotor, yaitu lebih berbahayanya cidera dan kecelakaan yang kemungkinan bisa dialami pengguna kendaraan bermotor serta ancaman konsumsi bahan bakar fosil moda transportasi tersebut terhadap lingkungan.

Indonesia sebagai negara dengan penduduk terpadat di dunia nomor empat, terutama Jakarta – yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017 dihuni oleh 10,37 juta jiwa – pun bersiap menyongsong momentum tersebut. Pembenahan itu ditunjukkan dengan penyediaan dua transportasi massal anyar berbasis rel, yakni Mass Rapid Transit atau yang sudah diterjemahkan menjadi Moda Raya Terpadu (MRT) dan Light Rail Transit alias Lintas Rel Terpadu (LRT).

MRT Jakarta, yang sekarang telah beroperasi, menghubungkan wilayah Lebak Bulus dengan Bundaran HI dengan panjang lintasan 15,7 km. Adapun LRT Jakarta – yang secara rangkaian dan daya tampung penumpangnya lebih sedikit – dijadwalkan beroperasi resmi tak lama lagi. Di tahap awal ini, ia merupakan integrasi Stasiun Mal Kelapa Gading di Jakarta Utara dan Stasiun Velodrome di Jakarta Timur.

Kini, rasanya tak berlebihan kalau menyebut MRT maupun LRT Jakarta sebagai penyandang titel penggerak perubahan masyarakat dalam bertransportasi. Sebab, kehadiran keduanya memang buah dari upaya perbaikan pemerintah dengan pihak-pihak terkait dalam beberapa tahun terakhir untuk menyempurnakan transportasi massal berbasis rel.

Susantono (2014) menyebut bahwa kuncinya ada di kereta api, yang merupakan gerbang transformasi budaya dalam bertransportasi, utamanya dari segi kedisiplinan. Ia mencontohkan bagaimana perjalanan menggunakan kereta api kelas ekonomi di tahun 2014 sudah jauh berbeda dengan 10 tahun sebelumnya. Misalnya, telah diperketatnya boarding pass di tiap stasiun, sehingga hanya penumpang bertiket serta beridentitas resmi yang diizinkan masuk ke peron, dan ketersediaan kanal-kanal alternatif pembelian tiket, baik secara daring maupun gerai minimarket.

Sementara di dalam gerbong, penumpang sungguhan sudah tak perlu lagi bergaul dengan pedagang asongan, pengamen, “petugas cleaning service” dadakan, atau bahkan hewan yang dibawa oleh penumpang lainnya. Fasilitas dalam gerbongnya pun telah ditingkatkan, sebut saja ketersediaan pendingin ruangan, toilet ramah lingkungan, juga colokan untuk mengisi daya gawai bawaan penumpang.

LRT Jakarta sebagai jawaban
Walau fitur-fitur tersebut juga kebanyakan diwariskan pada LRT Jakarta, tetapi ini bukanlah kenikmatan final bagi penumpang kendaraan yang dioperasionalkan menggunakan aliran listrik itu. Ya, LRT Jakarta turut mencoba memenuhi hak semua warga negara, termasuk penyandang disabilitas, agar dapat menikmati layanan transportasi massal yang lincah, terpercaya, sekaligus ramah terhadap kondisi mereka.

Inisiatif PT Light Rail Transit (LRT) Jakarta ini sudah benar. Mengacu pada studi yang dilakukan oleh Svendsen (1994), LRT memang terbukti merupakan moda transportasi yang mampu memudahkan mobilitas orang-orang berkebutuhan khusus.

Surveinya terhadap 63 responden tunanetra di daerah-daerah urban menyatakan mayoritas di antara mereka bisa bepergian secara independen berkat LRT. Para responden tersebut bermobilitas dengan LRT untuk beragam kepentingan: rekreasi, berbelanja, bekerja, termasuk berkuliah, beribadah, dan berobat. Mereka mengklaim sistem LRT di kota-kota begitu membantu, berkat layanan pengumuman lisan di setiap stasiun dan kereta, bantuan petugas yang tersedia jika diperlukan, serta layanan yang dapat diandalkan oleh banyak orang. Kendati demikian, masih ada kritik untuk sistem LRT, seperti kurang beragamnya medium sosialisasi informasi seperti jadwal dan tujuan kereta api.

Penumpang LRT Jakarta © Adhi Wicaksono / CNN Indonesia

Guna meningkatkan kelayakan layanannya, Sabtu (27/04/2019) lalu, PT Light Rail Transit (LRT) Jakarta menggandeng Jakarta Barrier Free Tourism (JBFT) untuk mengujicobakan seberapa ramah LRT Jakarta untuk penumpang difabel. Dalam kegiatan ini, ada 72 peserta yang menikmati perjalanan dengan LRT Jakarta sembari berkeliling di dalam stasiun. Dari 72 orang itu, ada 12 orang pengguna kursi roda, empat orang peserta difabel netra, tiga orang peserta difabel rungu, serta peserta celebral palsy (CP), autis, difabel daksa sebanyak 10 orang.

Hasilnya, PT LRT Jakarta mengklaim telah menampung aspirasi rekan-rekan JBFT, meliputi toilet yang masih mengganggu pergerakan penumpang dengan kursi roda, jalur ramp menuju dan keluar stasiun yang terlalu licin, lantai pemandu yang masih kosong di beberapa titik, pegangan di dalam gerbong yang perlu ditambah, dan suara pemberitahuan yang belum terlampau jelas (Nilawaty, 2019). Masukan ini bukannya dimunculkan untuk melumpuhkan LRT Jakarta, tetapi justru sebagai bekal penyempurnaan ketika operasional resminya dimulai nanti.

Infrastruktur memadai
Optimisme terhadap LRT sebagai moda transportasi publik yang layak diandalkan di Jakarta sangat layak dilambungkan. Pasalnya, LRT Jakarta punya beragam keunggulan. Pertama, tarifnya relatif terjangkau, yaitu Rp5.000 saja untuk menerobos jarak total 5,8 km dari Koridor Kelapa Gading-Velodrome. Kedua, stasiun LRT Jakarta telah terintegrasi dengan Angkutan Jaklingko dengan nomor trayek JAK-24. Lalu, walau tak berharap terjadi, LRT Jakarta juga telah mengantisipasi adanya gangguan operasional, lewat kendaraan khusus bernama HMV. HMV ini siap muncul ketika dibutuhkan, seperti melangsir LRT di depo, menarik LRT yang mengalami gangguan, dan masih banyak lainnya.

Pun dari segi fasilitas. PT LRT Jakarta sebelumnya mengklaim fasilitasnya berstandar internasional dan mereka memang sudah mencoba untuk memenuhinya. Ada CCTV dan petugas keamanan yang siaga 24 jam, pos kesehatan, ruang menyusui, musala, Passenger Information Display (PID), area lapak, serta platform screen door untuk memberikan pengamanan lebih pada penumpang di stasiun.

Terkhusus untuk mendukung para penumpang penyandang disabilitas, telah disediakan lift dan eskalator di kedua stasiun, hand rail, trek landai untuk memudahkan pemakai kursi roda, public announcer dan voice intercom di dalam kereta, toilet khusus difabel, serta kursi prioritas baik di peron maupun di dalam kereta. Yang tak kalah menarik, selain di bagian dinding tengah gerbong kursi penumpang, disediakan pula tombol darurat di tempat khusus kursi roda. Terdapat intercom pula di tombol darurat di setiap gerbong tersebut, yang memungkinkan pengguna LRT untuk langsung menghubungi masinis (Suryasumirat, 2018; Nilawaty, 2019).

Penumpang difabel LRT Jakarta © Adhi Wicaksono / CNN Indonesia

Dengan memadainya infrastruktur ini, besar harapan LRT Jakarta mampu menjadi pilihan utama masyarakat ibu kota untuk bermobilisasi. Apalagi dengan target penumpang 14 ribuan per hari (Hamdi, 2019), mau tidak mau PT LRT Jakarta harus siap melayani semua kalangan, tak terkecuali bagi para penyandang disabilitas. Di Jakarta sendiri, BPS DKI Jakarta mencatat ada 6.003 jiwa penyandang disabilitas di tahun 2015 (Wicaksono, 2019). Praktis, para penyandang disabilitas juga merupakan target pelanggan yang potensial.

Inilah upaya realisasi visi “moving people, connecting communities” yang bukan isapan jempol belaka dari PT LRT Jakarta. Sebuah mimpi yang besar memang, tetapi jangan khawatir dan mari ambil bagian, karena mobilitas untuk semua kalangan bukan mimpi lagi dengan LRT Jakarta.



Daftar Referensi:
Black W. R., & Nijkamp, P. (eds). (2012). Social Change and Sustainable Transport. Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press.

Hamdi, I. (2019, 9 Maret). LRT Jakarta Targetkan Angkut 14.255 Penumpang Per Hari. Tempo.co. Diakses dari: https://metro.tempo.co/read/1183378/lrt-jakarta-targetkan-angkut-14-255-penumpang-per-hari/full&view=ok.

Nilawaty, C. (2019, 30 April). Difabel Uji Coba LRT, Ini Daftar Fasilitas yang Mesti Diperbaiki. Tempo.co. Diakses dari: https://difabel.tempo.co/read/1200572/difabel-uji-coba-lrt-ini-daftar-fasilitas-yang-mesti-diperbaiki.

Suryasumirat, R. A. (2018, 14 November). Fasilitas Kelas Dunia, LRT Jakarta Ditargetkan Beroperasi Tahun Depan. Liputan6.com. Diakses dari: https://www.liputan6.com/news/read/3692137/fasilitas-kelas-dunia-lrt-jakarta-ditargetkan-beroperasi-tahun-depan.

Susantono, B. (2014). Revolusi Transportasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Svendsen, K. (1994). The use of light rail or light rapid transit systems by individuals with severe visual impairments. Journal of Visual Impairment & Blindness, 88(1), h.69-74.

Wicaksono, A. (2019, 27 April). FOTO : Penyandang Disabilitas Cicip Fasilitas LRT. CNNIndonesia.com. Diakses dari: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190427195839-22-390180/foto-penyandang-disabilitas-cicip-fasilitas-lrt/3.

Comments